Senin, 15 Agustus 2011

Dahsyatnya Gelombang Penghancur Iman dan Akhlaq

Ada gelombang dahsyat yang menimpa ummat Islam sedunia, yaitu gelombang budaya jahiliyah yang merusak akhlaq dan aqidah manusia yang disebarkan lewat televisi dan media lainnya. Gelombang itu pada hakekatnya lebih ganas dibanding senjata-senjata nuklir yang sering dipersoalkan secara internasional. Hanya saja gelombang dahsyat itu karena sasarannya merusak akhlaq dan aqidah, sedang yang paling menjunjung tinggi akhlaq dan aqidah itu adalah Islam, maka yang paling prihatin dan menjadi sasaran adalah ummat Islam. Hingga, sekalipun gelombang dahsyat itu telah melanda seluruh dunia, namun pembicaraan hanya sampai pada tarap keluhan para ulama dan Muslimin yang teguh imannya, serta sebagian ilmuwan yang obyektif.

Gelombang dahsyat itu tak lain adalah budaya jahiliyah yang disebarkan lewat aneka media massa, terutama televisi, VCD/ CD, radio, majalah, tabloid, koran,dan buku-buku yang merusak akhlak.

Dunia Islam seakan menangis menghadapi gelombang dahhsyat itu. Bukan hanya di Indonesia, namun di negara-negara lain pun terlanda gelombang dahsyat yang amat merusak ini.

Bukti dari meratanya musibah itu, kita simak suatu penuturan kenyataan yang dirasakan oleh masyarakat Muslim di negeri lain, walaupun negerinya relatif telah ketat dalam menyensor tayangan televisi. Bagaimana keluhan yang ditulis pemerhatinya, kita simak sebagai berikut:
Di antara pengaruh negatif televisi adalah membangkitkan naluri kebinatangan secara dini... dan dampak dari itu semua adalah merosotnya akhlak dan kesalahan yang sangat mengerikan yang dirancang untuk menabrak norma-norma masyarakat. Ada sejumlah contoh bagi kita dari pengkajian Charterz (seorang peneliti) yang berharga dalam masalah ini di antaranya ia berkata: “Sesungguhnya pembangkitan syahwat dan penayangan gambar-gambar porno, dan visualisasi (penampakan gambar) trik-trik porno, di mana sang bintang film menanamkan rasa senang kepada jiwa para penonton, dan membangkitkan syahwat bagi para remaja dengan cara yang sangat membahayakan bagi kalangan anak-anak itu amat sangat berbahaya.”

Peneliti ini telah mengadakan statistik kumpulan film-film yang ditayangkan untuk anak-anak sedunia, ia mendapatkan bahwa:
29,6% film anak-anak bertemakan seks
27,4% film anak-anak tentang menanggulangi kejahatan
15% film anak-anak berkisar sekitar percintaan dalam arti syahwat buka-bukaan.
Terdapat pula film-film yang menampilkan kekerasan yang menganjurkan untuk balas dendam, memaksa, dan brutal.
Hal itu dikuatkan oleh sarjana-sarjana psikologi bahwa berlebihan dalam menonton program-program televisi dan film mengakibatkan kegoncangan jiwa dan cenderung kepada sifat dendam dan merasa puas dengan nilai-nilai yang menyimpang. (Thibah Al-Yahya, Bashmat ‘alaa waladi/ tanda-tanda atas anakku, Darul Wathan, Riyadh, cetakan II, 1412H, hal 28).

Jangkauan lebih luas
Apa yang dikemukakan oleh peneliti beberapa tahun lalu itu tidak menjadi peringatan bagi para perusak akhlaq dan aqidah. Justru mereka tetap menggencarkan program-programnya dengan lebih dahsyat lagi dan lebih meluas lagi jangkannya, sebab diproduksi dengan VCD dan CD yang ditonton oleh masyarakat, dari anak-anak sampai kakek- nenek, di rumah masing-masing. Gambar-gambar yang merusak agama itu bisa disewa di pinggir-pinggir jalan atau dibeli di kaki lima dengan harga murah. Video dan komputer/ CD telah menjadi sarana penyaluran budaya kaum jahili untuk merusak akhlaq dan aqidah ummat Islam. Belum lagi internet (home page) dari kalangan orang-orang yang tak bertanggung jawab yang menampilkan situs-situs ataupun gambar-gambar yang merusak akhlaq dan aqidah.

Budaya jahiliyah itu jelas akan menjerumuskan manusia ke neraka. Sedangkan ALLAH swt memerintahkan kita agar menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Firman Allah:
يا أيها الذين أمنوا قوا أنفسكم و أهليكم نارا وقودها الناس والحجارة عليها ملائكة غلاظ شداد لايعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون. (التحريم : 6).
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahriim/ 66:6).

Sirkulasi perusakan akhlaq dan aqidah
Dengan ramainya lalulintas tayangan yang merusak aqidah dan akhlaq lewat berbagai jalur itu penduduk dunia --dalam pembicaraan ini ummat Islam-- dikeroyok oleh syetan-syetan perusak akhlaq dan aqidah dengan aneka bentuk. Dalam bentuk gambar-gambar budaya jahiliyah, di antaranya disodorkan lewat televisi, film-film di VCD, CD, bioskop, gambar-gambar cetak berupa foto, buku, majalah, tabloid dsb. Bacaan dan cerita pun demikian.
Tayangan, gambar, suara, dan bacaan yang merusak aqidah dan akhlaq itu telah mengeroyok muslimin, kemudian dipraktekkan langsung oleh perusak-perusak aqidah dan akhlaq dalam bentuk diri pribadi, yaitu perilaku. Lalu masyarakatpun meniru dan mempraktekkannya. Sehingga praktek dalam kehidupan sehari-hari yang sudah menyimpang dari akhlaq dan aqidah yang benar itupun mengepung ummat Islam.
Dari sisi lain, praktek tiruan dari pribadi-pribadi pendukung kemaksiatan itupun diprogramkan pula untuk dipompakan kepada masyarakat dengan aneka cara, ada yang dengan paksa, misalnya menyeragami para wanita penjaga toko dengan pakaian ala jahiliyah. Sehingga, ummat Islam didesak dengan aneka budaya yang merusak aqidah dan akhlaq, dari yang sifatnya tontonan sampai praktek paksaan.

Nabi Muhammad saw. memperingatkan agar ummat Islam tidak mematuhi suruhan siapapun yang bertentangan dengan aturan Allah swt.
قال رسول الله ص م : لاطاعة لمخلوق في معصية الله تبارك وتعالى. (رواه أحمد في مسنده نمرة 20191).
“Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada ketaatan bagi makhluk dalam maksiat pada Allah Tabaraka wa Ta’ala. ( Hadits Riwayat Ahmad, dalam Musnadnya nomor 20191).

Sikap ummat Islam
Masyarakat Muslim pun beraneka ragam dalam menghadapi kepungan gelombang dahsyat itu. Golongan pertama, prihatin dengan bersuara lantang di masjid-masjid, di majlis-majlis ta’lim dan pengajian, di tempat-tempat pendidikan, dan di rumah masing-masing. Mereka melarang anak-anaknya menonton televisi karena hampir tidak diperoleh manfaat darinya, bahkan lebih besar mudharatnya. Mereka merasakan kesulitan dalam mendidikkan anak-anaknya. Kemungkinan, tinggal sebagian pesantrenlah yang relatif lebih aman dibanding pendidikan umum yang lingkungannya sudah tercemar akhlaq buruk.

Ummat Islam golongan pertama yang ingin mempertahankan aqidah dan akhlaq anak-anaknya itu di zaman sekarang ini ibarat orang yang sedang dalam keadaan menghindar dari serangan musuh. Harus mencari tempat perlindungan yang sekiranya aman dari aneka “peluru” yang ditembakkan. Sungguh!

Golongan kedua, Ummat Islam yang biasa-biasa saja sikapnya. Diam-diam masyarakat Muslim yang awam itu justru menikmati aneka tayangan yang sebenarnya merusak akhlaq dan aqidah itu dengan senang hati. Mereka beranggapan, apa-apa yang ditayangkan itu sudah lewat sensor, sudah ada yang bertanggung jawab, berarti boleh-boleh saja. Sehingga mereka tidak merasa risih apalagi bersalah. Hingga mereka justru mempersiapkan aneka makanan kecil untuk dinikmati sambil menonton tayangan-tayangan yang merusak namun dianggap nikmat itu. Sehingga mereka pun terbentuk jiwanya menjadi penggemar tayangan-tayangan itu, dan ingin mempraktekkan dalam kehidupan. Tahu-tahu, mereka secara bersama-sama dengan yang lain telah jauh dari agamanya.

Golongan ketiga, masyarakat yang juga mengaku Islam, tapi lebih buruk dari sikap orang awam tersebut di atas. Mereka berangan-angan, betapa nikmatnya kalau anak-anaknya menjadi pelaku-pelaku yang ditayangkan itu. Entah itu hanya jadi penjoget di belakang penyanyi (namanya penjoget latar), atau berperan apa saja, yang penting bisa tampil. Syukur-syukur bisa jadi bintang top yang mendapat bayaran banyak. Mereka tidak lagi memikir tentang akhlaq, apalagi aqidah. Yang penting adalah hidup senang, banyak duit, dan serba mewah, kalau bisa agar terkenal. Untuk mencapai ke “derajat” itu, mereka berani mengorbankan segalanya termasuk apa yang dimiliki anaknya. Na’udzubillaah. Ini sudah bukan rahasia lagi bagi orang yang tahu tentang itu.

Golongan pertama yang ingin mempertahankan akhlaq dan aqidah itu dibanding dengan golongan yang ketiga yang berangan-angan agar anaknya ataupun dirinya jadi perusak akhlaq dan aqidah, boleh jadi seimbang jumlahnya. Lantas, golongan ketiga --yang ingin jadi pelaku perusak akhlaq dan aqidah itu-- digabung dengan golongan kedua yang merasa nikmat dengan adanya tayangan maksiat, maka terkumpullah jumlah mayoritas. Hingga Muslimin yang mempertahankan akhlaq dan aqidah justru menjadi minoritas.

Itu kenyataan. Buktinya, kini masyarakat lebih jauh mengunggulkan pelawak daripada ulama’. Lebih menyanjung penyanyi dan penjoget daripada ustadz ataupun kiai. Lebih menghargai bintang film daripada guru ngaji. Dan lebih meniru penjoget daripada imam masjid dan khatib.
Ungkapan ini secara wajar tampak hiperbol, terlalu drastis secara akal, tetapi justru secara kenyataan adalah nyata. Bahkan, bukan hanya suara ulama’ yang tak didengar, namun Kalamullah pun sudah banyak tidak didengar. Sehingga, suara penyayi, pelawak, tukang iklan dan sebagainya lebih dihafal oleh masyarakat daripada Kalamullah, ayat-ayat Al-Quran. Astaghfirulaahal ‘adhiem.

Tayangan-tayangan televisi dan lainnya telah mengakibatkan berubahnya masyarakat secara drastis. Dari berakhlaq mulia dan tinggi menjadi masyarakat tak punya filter lagi. Tidak tahu mana yang ma’ruf (baik) dan mana yang munkar (jelek dan dilarang). Bahkan dalam praktek sering mengutamakan yang jelek dan terlarang daripada yang baik dan diperintahkan oleh Allah SWT.

Berarti manusia ini telah merubah keadaan dirinya. Ini mengakibatkan dicabutnya ni’mat Allah akibat perubahan tingkah manusia itu sendiri, dari baik menjadi tidak baik. Allah SWT berfirman:
إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم. (الرعد: 11).
“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d/ 13:11).

Mencampur kebaikan dengan kebatilan
Kenapa masyarakat menjadi tidak tahu membedakan kebaikan dan keburukan? Karena “guru utama mereka” adalah televisi. Sedang program-program televisi adalah menampilkan aneka macam yang campur aduk. Ada aneka macam kebohongan misalnya iklan-iklan yang sebenarnya bohong, tak sesuai dengan kenyataan, namun ditayangkan terus menerus. Kebohongan ini kemudian dilanjutkan dengan acara tentang ajaran kebaikan, nasihat atau pengajian agama. Lalu ditayangkan film-film porno, merusak akhlaq, merusak aqidah, dan menganjurkan kesadisan. Lalu ditayangkan aneka macam perkataan orang dan berita-berita yang belum tentu mendidik. Sehingga, para penonton lebih-lebih anak-anak tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Masyarakat pun demikian. Hal itu berlangsung setiap waktu, sehingga dalam tempo sekian tahun, manusia Muslim yang tadinya mampu membedakan yang haq dari yang batil, berubah menjadi manusia yang berfaham menghalalkan segala cara, permisive atau ibahiyah, apa-apa boleh saja.

Munculnya masyarakat permisive itu karena adanya penyingkiran secara sistimatis terhadap aturan yang normal, yaitu larangan mencampur adukkan antara yang haq (benar) dan yang batil. Yang ditayangkan adalah jenis pencampur adukan yang haq dan yang batil secara terus menerus, ditayangkan untuk ditonton oleh masyarakat. Padahal Allah SWT telah melarang pencampur adukan antara yang haq dengan yang batil:
ولا تلبسوا الحق بالباطل وتكتموا الحق وأنتم تعلمون.
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu sedang kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 42).


Dengan mencampur adukkan antara yang benar dengan yang batil secara terus menerus, akibatnya mempengaruhi manusia untuk tidak menegakkan yang haq/ benar dan menyingkirkan yang batil. Kemudian berakibat tumbuhnya jiwa yang membolehkan kedua-duanya berjalan, akibatnya lagi, membolehkan tegaknya dan merajalelanya kebatilan, dan akibatnya pula menumbuhkan jiwa yang berpandangan serba boleh. Dan terakhir, tumbuh jiiwa yang tidak bisa lagi membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Padahal, orang yang melihat kemunkaran (keburukan) sedang dia hanya mampu merubah dengan hati (yaitu dengan membenci keburukan/ kemunkaran itu) saja tinggal selemah-lemah iman. Lantas, kalau sudah tidak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang haq dan mana yang batil, lantas keimanannya di mana?
Tidak adanya iman lagi itulah bencana yang paling parah yang menimpa ummat Islam dari proyek besar-besaran dan sistimatis serta terus menerus yang diderakan kepada ummat Islam sedunia. Yaitu proyek mencampur adukkan antara kebaikan dan keburukan lewat aneka tayangan. Apakah upaya kita untuk membentengi keimanan kita?
Continue Reading...

‘Deterjen’ ampuh penghancur dosa

Bulan suci Ramadhan seringkali disebut syahrul maghfirah, bulan ampunan. Alasannya, di bulan ini banyak amal shalih yang berkhasiat sebagai ‘deterjen’ yang ampuh mencuci noda-noda dosa dari tubuh kaum muslimin. Salah satunya adalah shaum Ramadhan. Rasulullah n mene¬gaskan bahwa shaum Ramadhan yang dilaku¬kan dengan benar akan menyapu bersih dosa-dosa sampai hilang tak berbekas.
Penjelasan Rasulullah n tersebut merupakan kabar gembira bagi umat Islam yang melaksanakan shaum Ramadhan. Umat Islam akan semakin ber¬semangat mengisi bulan penuh berkah ini dengan amalan-amalan yang diwajibkan dan disunah¬kan. Tujuan¬nya tentu saja mendapat lim¬pahan ampunan Allah l, sehingga mereka keluar dari bulan Ramadhan dalam keadaan suci, bersih dari noda-noda dosa.
Di dalam hadits yang shahih dijelaskan sebagai berikut,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : (( مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ))
Dari Abu Hurairah a berkata: Rasulullah n bersabda: “Barangsiapa melakukan shaum Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosa kecilnya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no. 38, Muslim no. 760, An-Nasai no. 2170, Ibnu Majah no. 1631, dan Ahmad no. 7130)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (( مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ ))
Dari Abu Hurairah a dari Nabi n bersabda: “Barangsiapa melakukan shaum Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosa kecilnya yang telah lalu dan dosa-dosa kecilnya yang akan datang.” (HR. Ahmad no. 8775. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyatakan sanadnya hasan. Al-Hafizh Zainuddin Al-‘Iraqi menyatakan sanadnya shahih)
Dalam hadits-hadits di atas, Rasulullah n mengaitkan pengampunan dosa-dosa orang yang shaum dengan dua syarat, yaitu iman dan ihtisab.

Syarat Pertama, Iman
Iman adalah meyakini kebenaran perintah dan janji pahala Allah. Artinya, ia mengimani bahwa shaum adalah perintah Allah l dan Rasul-Nya n, dan ia mengimani pahala yang telah dijanjikan oleh Allah l dan Rasul-Nya n.
Sebagai seorang muslim, sikap kita adalah sami’na wa atha’na (mendengar dan menaati) semua perkara yang telah ditetapkan Allah l dan Rasul-Nya, baik berupa perintah maupun larangan. Setiap perintah Allah l pasti memiliki maslahat di dunia dan akhirat. Allah l juga menjanjikan pahala yang besar di sisi-Nya kelak. Demikian pula, setiap larangan Allah SWt pasti mengandung madharat di dunia dan akhirat. Allah l juga mengancam dengan siksaan yang pedih jika larangan-Nya dilanggar.
Allah l berfirman,
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mumin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan perkara diantara mereka ialah ucapan ‘Kami mendengar dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nur (24): 51)
“Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mumin dan tidak (pula) bagi perempuan yang muminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (QS. Al-Ahzab (33): 36)
Dengan adanya kesadaran, penghayatan, dan ketun¬¬dukan hati ini maka seorang muslim tidak akan ragu sedikit pun untuk mengerjakan perintah syariat dan meninggalkan larangan syariat. Ia akan ber¬¬usaha mengerjakan perintah syariat dengan sebaik-baiknya, meski terasa berat bagi hawa naf¬su¬nya. Ia akan meninggalkan larangan syariat dengan patuh, walau untuk itu ia harus mencam¬pakkan hawa nafsunya.
Dalam hadits shahih dijelaskan bahwa melaksanakan shaum Ramadhan adalah bagain dari iman kepada Allah l.
عن ابن عباس : (( إِنَّ وَفْدَ عَبْدِ الْقَيْسِ لَمَّا أَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .. أَمَرَهُمْ بِالإِيمَانِ بِاللَّهِ وَحْدَهُ ، قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الإِيمَانُ بِاللَّهِ وَحْدَهُ ؟ قَالُوا : اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ ، قَالَ : شَهَادَةُ أَنْ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامُ الصَّلاةِ ، وَإِيتَاءُ الزَّكَاةِ ، وَصِيَامُ رَمَضَانَ ، وَأَنْ تُعْطُوا مِنْ الْمَغْنَمِ الْخُمُسَ ))
Dari Ibnu Abbas bahwasanya rombongan utusan suku Abdul Qais datang kepada Nabi n …Maka Nabi n memerintahkan mereka untuk beriman kepada Allah Yang Maha Esa. Beliau bertanya, “Tahukah kalian apakah beriman kepada Allah Yang Maha Esa itu?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau menerangkan: “Yaitu ber¬saksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bersaksi bahwa Muham¬mad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan kalian menyerahkan seperlima harta rampasan perang (suku Abdul Qais selalu berperang melawan suku musyrik Mudhar. Maka disyariatkan menyerahkan seper¬lima harta rampasan perang kepada baitul mal kaum muslimin, lihat QS. Al-Anfal (8): 41, -edt) (HR. Bukhari no. 53, Muslim no. 17, Abu Daud no. 4057, Tirmidzi no. 2536, An-Nasai no. 4945, Ahmad no. 2010, dan Ibnu Khuzaimah no. 1871)
Satu-satunya tujuannya adalah mengabdikan diri kepada Allah l. Ia meyakini sepenuhnya bahwa kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat hanya bisa diraih dengan totalias ketundukan kepa¬da syariatnya. Ia meyakini sepenuhnya bahwa buah ketaatan adalah ridha Allah l dan kenik¬matan abadi di surga-Nya. Imannya menum¬buhkan keya¬kinan yang mantap, tidak memberi ruang sedikit pun untuk ragu-ragu, menentang, atau menyimpang.
Allah l berfirman,
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah keten¬tuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah mema¬sukkannya ke dalam surga yang menga¬lir di dalamnya sungai-sungai, sedang mere¬ka kekal di dalamnya; dan itulah keme¬nangan yang besar.” (QS. An-Nisa’ (4): 13)
“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS. An-Nuur (24): 52)

Syarat Kedua, Ihtisab
Ihtisab adalah mengerjakannya semata-mata demi mengharap ridha Allah l dan pahala di sisi-Nya. Terkadang seseorang mengimani perintah Allah dan Rasul-Nya, namun ia mengerjakannya karena riya’, sum’ah, ujub, atau tujuan duniawi, sehingga perbuatannya tidak bisa disebut ihtisab.
Seorang muslim melakukan shaum Ramadhan semata-mata karena mengharap ridha Allah l dan janji pahala di sisi-Nya. Ia ingin termasuk hamba Allah l yang diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Ia berharap dapat mema¬suki surga dari pintu Ar-Rayyan. Ia berhasrat shaum¬¬nya menjadi perisai diri dari segala kemak¬siatan dan kebiasaan buruk. Ia menginginkan shaum menjadi pemberi syafa’at baginya di penga¬dilan akhirat kelak. Inilah landasan ia melakukan shaum, ihtisab lillahi ta’ala.
Seorang muslim tidak melakukan shaum karena ikut-ikutan dengan orang-orang di sekitarnya yang juga melakukan shaum. Ia tidak melakukan shaum agar dilihat dan dipuji sebagai orang shalih oleh orang-orang di sekitarnya. Ia tidak melakukan shaum karena hendak mem¬banggakan amalnya di hadapan orang lain. Ia tidak melakukan shaum agar mendapat keuntungan duniawi; THR (tunjangan hari raya), libur Rama¬dhan, pengurangan jam belajar-mengajar dan kerja, penghematan uang belanja, dan lain-lain.

Dosa Amblas Blas..blas..blas…
Jika dua syarat ini terpenuhi, maka shaum yang dilakukan oleh seorang muslim akan mem¬buahkan hasil yang indah di dunia dan akhirat. Keima¬nan, keshalihan, dan ketakwaannya akan meningkat. Setelah Ramadhan, ia menjadi orang yang lebih baik. Hubungan dengan Allah l akan lebih erat dan dekat. Kehidupannya juga lebih ber¬manfaat bagi sesama manusia. Ia seakan terlahir kembali. Kebiasaan-kebiasaan buruk yang selama ini menjadi karakternya berhasil ia buang jauh-jauh. Kebiasaan-kebiasaan baik yang selama ini tidak pernah ia lakukan, kini menjadi menu amal harian¬¬nya. Ia benar-benar menunjukkan sosok hamba Allah yang telah dibersihkan dosa-dosanya. Ia sungguh memberi tauladan bagaimana men¬jalani lembaran kehidupan baru yang penuh dengan catatan kebaikan.

Apakah semua dosanya diampuni?

Sebagian orang menyangka bahwa hadits-hadits tentang shaum di atas menerangkan seluruh dosa orang yang shaum akan diampuni, baik dosa besar maupun dosa kecil. Anggapan demikian adalah keliru. Pendapat yang benar, dosa-dosa yang diampuni oleh amalan shaum adalah dosa-dosa kecil. Adapun dosa-dosa besar harus dida¬hului oleh taubat nashuha, tidak cukup dengan shaum semata. Selain itu, ia juga harus merea¬lisasikan tauhid dan bersih dari syirik. Demi¬kianlah yang dijelaskan oleh dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih.
Allah l menjelaskan bahwa amalan yang diterima-Nya adalah amalan yang dilakukan oleh orang yang berislam, beriman, dan bertauhid. Sebanyak dan sebaik apapun amalan seorang hamba, jika dicampuri oleh kesyirikan atau keku¬furan, pasti akan ditolak oleh Allah l. Amalan¬nya akan sia-sia belaka, sedikit pun tidak ada nilainya di sisi Allah l.

Allah l berfirman tentang amal kebaikan orang-orang kafir,
“Orang-orang yang kafir kepada Rabbnya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” (QS. Ibrahim (14): 18)
“Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila dida¬tanginya air itu dia tidak mendapatinya sesua¬tu apapun… Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atas¬¬nya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, hampir-hampir dia tiada dapat meli¬hatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (QS. An-Nuur (24): 39-40)
Allah l berfirman tentang amal kebaikan orang-orang musyrik,
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am (6): 88)
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepa¬damu (Muhammad n) dan kepada (nabi-nabi) sebelummu: Jika kamu mem¬per¬sekutukan (Allah), niscaya akan hapus amal¬mu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar (39): 65)

Dalam hadits yang shahih juga disebutkan,
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : (( مَنْ لَقِيَ اللَّهَ لا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا يُصَلِّي الْخَمْسَ وَيَصُومُ رَمَضَانَ غُفِرَ لَهُ ، قُلْتُ : أَفَلا أُبَشِّرُهُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : دَعْهُمْ يَعْمَلُوا ))

Dari Mu’adz bin Jabal a berkata: Aku mendengar Rasulullah n bersabda: “Barang¬siapa menghadap Allah l tidak menye¬kutu¬kan-Nya dengan sesuatu pun, menunaikan shalat wajib lima waktu, dan melaksanakan shaum Ramadhan, niscaya dosa-dosa (kecil) nya akan diampuni.” Mu’adz berkata: “Tidak¬kah sebaiknya aku mem¬beritahukan kabar gem¬bira ini kepada orang-orang?” Beliau men¬jawab, ”Biarkan saja mereka melakukan amal (shalih lainnya juga).” (HR. Ahmad no. 21253. Dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 1315)

Demikian pula, dosa-dosa kecil bisa diha¬pus¬kan dengan amalan shaum apabila dosa-dosa besar terlebih dahulu ditinggalkan. Sebagai¬mana difir¬man¬kan oleh Allah l,
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu menger¬jakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS. An-Nisa’ (4): 31)

Firman Allah l di atas ditegaskan ulang oleh Rasulullah n dalam hadits shahih berikut ini,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ : (( الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ ))

Dari Abu Hurairah a bahwasanya Rasulullah n bersabda, “Shalat wajib lima waktu, shalat Jum’at ke shalat Jum’at berikutnya, (shaum) Ramadhan ke (shaum) Ramadhan berikutnya akan menghapuskan dosa-dosa (kecil) di antara rentang waktu tersebut, jika ia men¬jauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim no. 233, Tirmidzi no. 198, Ibnu Majah no. 1076, dan Ahmad no. 7089)

Kesimpulan
Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih di atas bisa disimpulkan bahwa shaum Rama¬dhan merupakan amalan yang dapat meng¬hapuskan dosa-dosa kecil yang telah lalu dan dosa-dosa kecil yang akan datang, apabila telah ter¬penuhi beberapa syarat berikut:
1. Pelakunya adalah seorang muslim yang beriman dan bertauhid, bersih dari dosa kufur dan syirik.
2. Ia melakukan shaum karena ikhlas mencari ridha Allah semata dan sebagai bentuk per¬wujudan iman kepada-Nya.
3. Ia menjauhi dosa-dosa besar.
Semoga kita termasuk golongan umat Islam yang memenuhi syarat-syarat ini, sehingga Allah l berkenan menghapuskan dosa-dosa kecil kita yang telah lalu dan yang akan datang. Amin.

Wallahu a’lam bish-shawab.
Continue Reading...
 

Blogroll

Total Tayangan Halaman

Jam

Inspirasi Anak Muda Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template